Orang-orang yang tidak sependapat dengan amalan warga NU biasanya membidahkan amalan warga Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan agama kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. HR. Bukhari Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan tiap bid’ah adalah sesat, dan tiap kesesatan menjurus ke neraka. HR. Muslim Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid’ah sesudah aku Rasulullah Saw. tiada maka tunjukkanlah sikap menjauh bebas dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak citra Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bid’ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat. HR. Ath-Thahawi Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, “Siapa mereka’ yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani.” HR. Bukhari Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan, fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. Ar-Ridha Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan, “Ya Rasulullah, apakah pengertian tipuan umatmu itu?” Beliau menjawab, “Mengada-adakan amalan bid’ah, lalu melibatkan orang-orang kepadanya.” HR. Daruquthin dari Anas. Setelah kita membaca hadits-hadits di atas Coba saudara cermati lagi. Telah kami terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat menolak bid’ah dhalalah, persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak perilaku menciptakan ibadah baru yang bertentangan dengan ajaran Syariat Islam, contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim, karena perilaku itu bertentangan dengan Alquran, falaa taq’uduu ma’ahum hatta yakhudhuu fi hadiitsin ghairih janganlah kalian duduk dengan mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan ritual. Serta dalil lakum diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi jelaslah, perilaku “Doa Bersama Muslim non Muslim” ini ini jelas-jelas bid’ah dhalalah, tidak ada tuntunannya sedikitpun di dalam Islam. Tetapi tentang bid’ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan syariat Islam, Bahkan ada perintahnya baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai dengan Mengumpulkan masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur idza marartum bi riyaadhil jannah farta’uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah? Qaala hilaqud dzikr Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu riyadhul jannah taman sorga, wahai Rasulullah? Beliau menjawab majlis dzikir. Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ? Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ? Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran bacalah apa yang mudah/ringan dari ayat Alquran. Baca subhanallah, astaghfirullah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah. Doa penutup. Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud dhaif, menghormati tamu sesuai dengan kemampuannya. Tentunya dalam masalah ini sangat bervariatif sesuai dengan tingkat kemampuannya, tak ubahnya saat Akhi/keluarga Akhi melaksnakan pernikahan dengan suguhan untuk tamu, yang disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah. Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara, maka itulah yang dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalkan tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw. maka yang demikian inilah yang dinamakan dengan BID’AH HASANAH. Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini? Tiada lain adalah Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi mengajarkan shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat kekhalifahan Sahabat Umar, beliau berinisiatif mengumpulkan semua masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata Ni’matil bid’atu haadzihi sebaik-baik bid’ah adalah ini = pelaksanaan tarawih 20 rakaat dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh. Bid’ahnya sahabat Umar ini terus berjalan hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Saudi Arabia seperti kita lihat sampai saat ini bahwa di Masjidil Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat sebulan penuh, sekaligus dengan mengkhatamkan Qur’an. Hal ini sama lestarinya dengan bid’ahnya para Wali songo yang mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia. Jadi baik Sahabat Umar dan pelanjut shalat tarawih di masjid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutnya umat Islam Indonesia, adalah pelaku BID’AH HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min ujurihim syaik Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan hasanatan perbuatan baru yang baik di dalam Islam yang tidak bertentangan dengan syariat, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit pun. Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali songo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid’ah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid’ahnya Tarawih Berjamaah maupun Bid’ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya. CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH Setelah baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru tetap dilakukan. Umat islam mengakuinya berdasar dalil-dalil yang shahih. Simak berbagai contoh berikut, Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll. Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan, dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul saw. pernah melarang menuliskan hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru digalakkan sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar abad ke 10 H. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll Saat ini melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw. atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas kemewahan, tenda juga diberi fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya. Pendirian Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang dalam pengajarannya dipakai sistem klasikal. dan masih banyak contoh-contoh lain. Dikutip dari ebook “DALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN NU’ yang ditulis oleh Imam Nawawi,
Pertanyaan Saya sering mendengar ustadz bicara tentang bid'ah.Apa sih definisi bid'ah dan contoh nyatanya di masyarakat sekarang?. andiga putra Jawaban: Bismillah.Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-I'tisham, memberikan definisi bid'ah, sebagai berikut, طريقة فيالدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها1. Pengertian Bid’ah Soal Syaikh yang mulia, apakah bid’ah itu? Jawab Bid’ah telah dinyatakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya “Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan karena setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka.” [1] Dengan demikian, semua bid’ah, baik yang baru maupun yang sudah berjalan lama, berdosa jika dilakukan. Demikianlah, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyatakan dalam sabdanya “Tempatnya di dalam neraka,” maksudnya perbuatan sesat ini menyebabkan pelakunya mendapat siksa di dalam neraka. Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan umatnya dari segala perbuatan bid’ah maka logikanya bid’ah itu merusak. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan bid’ah secara umum, tanpa mengecualikan hal tertentu, dengan sabdanya “Setiap bid’ah itu sesat.” Kemudian, semua bid’ah pada dasarnya adalah semua perbuatan ibadah yang mengikuti ketentuan di luar syariat Islam. Hal ini berarti si pelaku bid’ah menganggap syariat tidak sempurna sehingga ia menyempurnakannya dengan ibadah yang direkayasa yang dianggapnya dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kepada orang seperti ini kami mengatakan “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka. Jadi, wajib hukumnya meninggalkan semua bid’ah. Seseorang tidak boleh melakukan ibadah kecuali mengikuti syariat Allah dan Rasul-Nya agar benar-benar menjadikan beliau sebagai panutan, sedangkan orang yang menempuh jalan bid’ah berarti telah menjadikan si pembuat bid’ah sebagai panutannya di luar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika ia melakukan perbuatan bid’ahnya.” Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaaik, juz 2, hlm. 291 2. Makna Bid’ah dan Kaidahnya Soal Apakah makna bid’ah dan bagaimana pedomannya? Apakah ada bid’ah hasanah? Apa maksud dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis satu rintisan yang baik dalam Islam…?” Jawab Makna bid’ah dalam kaidah syariat yaitu melakukan ibadah kepada Allah di luar dari syariat yang ditetapkan Allah. Anda dapat juga mendefinisikannya sebagai melakukan ibadah di luar dari contoh yang diberikan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya yang terpimpin. Kaidah atau definisi pertama terambil dari firman Allah “Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan kepada mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” QS. Asy-Syuura 21 Kaidah atau definisi kedua terambil dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Ikutilah oleh kalian sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku yang lurus lagi terpimpin. Peganglah ia dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Waspadalah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan.” [2] Setiap orang yang melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah atau tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam atau para khalifah yang terpimpin berarti seorang pelaku bid’ah, baik dalam perkara berkenaan dengan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya, atau syariat-Nya. Adapun perkara-perkara yang sudah menjadi adat atau kebiasaan masyarakat menurut agama tidak dinamakan bid’ah sekalipun menurut bahasa disebut bid’ah juga. Bid’ah menurut bahasa bukanlah bid’ah yang dimaksudkan oleh agama dan bukan pula bid’ah yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk dijauhi. Dalam agama selamanya tidak ada yang disebut bid’ah hasanah baik. Adapun yang disebut rintisan yang baik sebagaimana tersebut di dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah sesuatu yang sesuai dengan. Hal ini mencakup orang yang merintis perbuatan yang baik, menghidupkan kembali perbuatan baik setelah ditinggalkan orang, atau melakukan suatu kebiasaan yang menjadi sarana bagi terlaksananya perbuatan ibadah. Sunnah terbagi tiga macam Pertama, Sunnah dalam pengertian merintis suatu perbuatan. Pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang anjuran beliau untuk memberi sedekah kepada para tamu beliau di Madinah karena mereka sangat memerlukannya. Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan bersedekah, maka datanglah seorang laki-laki Anshar membawa nampan perak penuh makanan yang dibawanya dengan berat, lalu ia letakkan di pangkuan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Nabi shallallahu alaihi wasallam kemudian bersabda “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya yang baik.” [3] Laki-laki Anshar ini merintis suatu perbuatan bukan merintis suatu syariat. Kedua, Sunnah dalam pengertian seseorang melakukan kembali kebiasaan baik yang telah ditinggalkan, berarti ia menghidupkannya kembali. Jadi, orang ini merintis dengan pengertian menghidupkannya kembali, sekalipun dahulu sudah pernah ada bukan ia yang memulainya. Ketiga, Sunnah dalam pengertian melakukan suatu yang dapat menjadi jalan terlaksananya sesuatu yang dibenarkan syariat, seperti membangun madrasah dan menerbitkan buku. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai usaha melakukan ibadah itu sendiri, tetapi sebagai sarana untuk melaksanakan yang lain. Semua ini masuk dalam pengertian dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya yang baik.” Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 2, hlm. 291-293 3. Memperlakukan Ahli Bid’ah Soal Bagaimana orang yang mengikuti Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam memperlakukan ahli bid’ah. Apakah boleh menjauhinya dan mendiamkannya? Jawab Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang menyebabkan kekafiran dan bid’ah yang lain. Kita wajib mengajak mereka yang mengaku beragama Islam, baik yang melakukan bid’ah yang menyebabkan kekafiran maupun yang tidak, untuk mengikuti kebenaran dengan keterangan yang benar, tanpa mencercanya, kecuali setelah terbukti bahwa yang bersangkutan tidak mau menerima kebenaran. Demikianlah, karena Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam firman-Nya “Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…” QS. Al-An’aam 108 Kita terlebih dahulu mengajak mereka kepada kebenaran dengan memberikan keterangan yang benar serta mengemukakan dalil-dalilnya. Kebenaran akan diterima oleh orang yang memiliki fitrah yang sehat. Apabila ternyata ia menolak dan mengingkarinya maka kita jelaskan kepada mereka kebatilannya karena menjelaskan kebatilan mereka merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi, kita tidak melakukan debat kusir dengan mereka. Adapun menjauhi mereka, hal ini tergantung pada bid’ahnya. Jika bid’ahnya menyebabkan kekafiran maka wajib dijauhi dan jika tidak seperti itu maka kita menahan diri jangan sampai menjauhi dan mendiamkannya. Kalau dengan menjauhi dan mendiamkannya ternyata membawa kebaikan maka kita boleh melakukannya. Jika ternyata tidak membawa kebaikan maka jangan kita lakukan. Hal ini karena pada dasarnya seorang mukmin diharamkan menjauhi dan mendiamkan saudaranya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Seorang muslim tidak halal menjauhi dan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” [4] Setiap mukmin, walaupun fasik, haram dijauhi dan didiamkan, kalau ternyata langkah ini tidak membawa kebaikan. Jika membawa kebaikan maka kita jauhi dan diamkan karena langkah ini merupakan obat. Akan tetapi, jika tidak membawa kebaikan, bahkan membuat yang bersangkutan semakin berbuat maksiat dan durjana, maka langkah mendiamkan dan menjauhi itu harus ditinggalkan. Mungkin ada yang membantah dengan alasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam dahulu pernah menjauhi dan mendiamkan Ka’ab bin Malik dan dua orang temannya yang tidak mau ikut pergi perang Tabuk. Jawabnya, langkah seperti ini muncul dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau menyuruh shahabat-shahabatnya menjauhi dan mendiamkan ketiga orang itu karena langkah tersebut bermanfaat besar. Bahkan, para shahabat bertambah keras menjalankan perintah tersebut sehingga ketika Ka’ab bin Malik mendapat surat dari raja Ghassan yang isinya “Saya mendengar bahwa teman anda, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, telah mengucilkan anda dan anda berada di tempat yang tidak enak dan terhina, karena itu kami bersimpati kepada anda,” lalu Ka’ab bin Malik dengan rasa tertekan dan kesal mengambil surat ini dan pergi kemudian membakarnya di dapur. Pengucilan terhadap ketiga orang tersebut membawa kebaikan yang besar. Selanjutnya, hasilnya sungguh-sungguh tidak pernah terbayangkan bahwa Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang mereka ini yang dibaca orang sampai hari kiamat. Allah berfirman “Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sungguh, terhadap tiga orang yang ditangguhkan penerimaan taubat mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit pula terasa oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksa Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sungguh Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” QS. At-Taubah 117-118 Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 2, hlm. 293-295 4. Menyanggah Pernyataan Ahli Bid’ah Soal Bagaimana kita menyanggah ahli bid’ah yang menjadikan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam,” sebagai dalil? Jawab Kita bantah mereka dengan menyatakan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya.” [5] Juga sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Ikutilah oleh kalian sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku yang lurus lagi terpimpin. Peganglah ia dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Waspadalah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [6] Bahwa yang dimaksud dengan merintis kebaikan haruslah ditempatkan sesuai dengan sebab munculnya hadits ini, yaitu Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan orang untuk memberi sedekah kepada kaum dari Bani Mudhar yang datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan sangat membutuhkan dan lapar. Oleh karena itu, datanglah seorang laki-laki Anshar membawa nampan perak penuh makanan, lalu ia letakkan di hadapan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Nabi shallallahu alaihi wasallam kemudian bersabda “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya.” Bila kita memahami sebab munculnya hadits ini maka kita dapat mendudukkan makna yang dimaksud bahwa yang dimaksud dengan merintis suatu amal kebajikan adalah yang bukan bersifat membuat syariat baru. Hal ini karena hak membuat syariat hanya ada pada Allah dan Rasul-Nya. Adapun yang dimaksud dengan merintis suatu rintisan adalah mempelopori amal kebajikan dan mengajak manusia untuk melakukannya. Oleh karena itu, orang seperti ini mendapat pahala dari kebaikan rintisannya dan dari orang lain yang mengikutinya. Itulah yang dimaksud oleh hadits tersebut. Kalimat ini dapat pula diartikan “Barangsiapa membuat suatu sarana yang dapat dipakai untuk melakukan ibadah dan memberikan teladan kepada manusia untuk melaksanakan sesuatu yang baik, seperti mengarang kitab, menyusun sistematika ilmu, membangun sekolah-sekolah, dan lain-lain, yang menurut syariat merupakan jalan yang dibenarkan.” Jika seseorang merintis membuat sarana yang dapat digunakan untuk memenuhi hal-hal yang diperintahkan oleh syariat, bukan hal yang dilarang, maka usahanya itu termasuk dalam pengertian hadits ini. Seandainya hadits di atas dapat dimaknakan bahwa manusia boleh membuat suatu urusan agama sesukanya maka hal itu berarti agama Islam ini di masa hayat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam belum sempurna. Hal ini juga berarti tiap-tiap umat berhak membuat syariat dan jalan sendiri. Jika orang yang berbuat bid’ah mempunyai anggapan bahwa bid’ah seperti ini sebagai bid’ah yang baik maka anggapannya itu salah. Hal ini karena anggapannya itu telah dinyatakan sesat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya “Setiap bid’ah itu sesat.” Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 2, hlm. 295-296 Catatan kaki [1] HR. Abu Dawud no. 3991 CD dan Nasa’i no. 1560 CD. [2] HR. Abu Dawud no. 3991 CD. [3] HR. Muslim no. 1691 CD. [4] HR. Bukhari no. 5612 CD. [5] HR. Muslim no. 1691 CD. [6] HR. Abu Dawud no. 3991 CD. Sumber Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci, disusun oleh Khalid Al-Juraisy penerjemah Ustadz Muhammad Thalib, penerbit Media Hidayah cet. Pertama, Rajab 1424 H/September 2003, hal. 205-213. Kajian dan Tanya Jawab tentang Bid'ah dan Ahli Bid'ah (337 audio) 23 Jan, 2021 Posting Komentar Daftar Isi Koleksi kumpulan rekaman audio kajian, khutbah, ceramah, pengajian, tausiyah, dan tanya jawab bersama ustadz ahlussunnah yang membahas tema seputar bid'ah dan ahli bid'ah. 1. bab 25 tercelanya hawa nafsu dan kebid'ahan serta ahlul 0% found this document useful 0 votes191 views4 pagesDescriptionTanya Jawab tentang bid'ah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin RahimahullahCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsPDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes191 views4 pagesTanya-Jawab Tentang Bid'AhDescriptionTanya Jawab tentang bid'ah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin RahimahullahFull description BID'AH; Beberapa Pertanyaan dan Jawabannya Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin Mungkin ada diantara kita yang bertanya bagaimanakah pendapat anda tentang perkataanUmar bin Khattab setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dariagar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan jama'ahsedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata "Inilah sebaik-baik bid'ah...dst." JawabannyaPertama bahwa tak seorangpun diantara kita boleh menentang sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, 'Utsman, Ali atau dengan perkataansiapa saja selain mereka. Karena Allah Ta'ala berfirman " Maka hendaklah orang-orangyang menyalahi perintahnya Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yangpedih ." An-Nur 63Imam Ahmad bin Hambal berkata "Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah?Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan jadi binasa."Ibnu Abbas berkata "Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. KukatakanRasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar." Kedua Kita yakin kalau Umar termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah dan sabdaRasul-Nya. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan AllahTa'ala, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selaluberpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggahperkataan beliau tentang pembatasan mahar maskawin dengan firman Allah, yang artinya" Sedang kamu telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yangbanyak..." bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasanmahar. Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang kesahihannya, tetapi dapat menjelaskanbahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, karena itu, tak patut bila Umar menentang sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamdan berkata tentang suatu bid'ah "Inilah sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebuttermasuk dalam kategori sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam "Setiap bid'ah adalahkesesatan." Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid'ah yang tidaktermasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya adalahmengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan sholat sunat pada malam bulanRamadhan dengan satu imam, dimana sebelumnya mereka melakukannya sholat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa BID'AH BEBERAPA PERTANYAAN DAN JAWABANNYA 1/4 sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallampernah melakukan qiyamul lail bersama para sahabat tiga malam berturut-turut, kemudianbeliau menghentikannya pada malam keempat dan bersabda " Sesungguhnya aku takut kalau sholat tersebut diwajibkan atas kamu, sedangkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya ." HR Bukhari dan MuslimJadi qiyamul lail sholat malam di bulan Ramadhan dengan berjama'ah termasuk sunnahRasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun disebut bid'ah oleh Umar pertimbangan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannyapada malam keempat, ada diantara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, adayang melakukannya dengan berjama'ah dengan beberapa orang saja dan ada yangberjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul mu'minin dengan pendapatnya yangbenar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan olehUmar ini disebut bid'ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orangsebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah, karena pernah dilakukan olehRasulullah shallallahu 'alaihi wa penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid'ah untuk menyatakanperbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah. Mungkin ada juga yang bertanya Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masaRasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam,seperti adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti itudinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalubagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukandengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam "Setiap bid'ah adalah kesesatan." Jawabannya Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai saranauntuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat danzamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah "Sarana dihukumi menurut tujuannya".Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan, sarana untukperbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan, sedang sarana untukperbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu suatu kebaikan jika dijadikan saranauntuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat. Firman Allah Ta'ala " Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang merekasembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batastanpa pengetahuan ."Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang musyrik adalah perbuatan haq dan padatempatnya, sebaliknya menjelek-jelekkan Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dantidak pada tempatnya. Namun karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahanorang-orang musyrik menyebabkan mereka akan memaki Allah, maka perbuatan tersebutdilarang. Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saranadihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan danpenyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada BID'AH BEBERAPA PERTANYAAN DAN JAWABANNYA 2/4 zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seorang yangmembangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, makapembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya apabila bertujuan untukpengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah diperintahkan. Jika ada pula yang mempertanyakan bagaimana jawaban Anda terhadap sabda Nabishallallahu 'alaihi wa sallam "Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikutinya meniru perbuatannya itu..." Jawabannya Bahwa orang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula "Setiapbid'ah adalah kesesatan" yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkinsabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada pertentangan satu samalainnya. Sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau adayang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadimungkin karena dirinya yang tidak mampu atau kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan adapertentangan dalam firman Allah atau sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabimenyatakan "Man Sanna Fil Islam" yang artinya" Barangsiapa berbuat dalam Islam"sedangkan bid'ah bukan termasuk dalam Islam, kemudian menyatakan "sunnahhasanah" berarti sunnah yang baik, sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbedaantara berbuat sunnah dengan mengerjakan bid' lainnya, bahwa kata-kata "Man Sanna" bisa diartikan pula "Barangsiapamenghidupkan suatu sunnah" yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "Sanna" tidak berarti membuat sunnah untuk dirinya sendiri, melainkanmenghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan. Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisahorang-orang yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan mereka dalamkeadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untukmendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar denganmembawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannyadihadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliaudan bersabda "Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka iamendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti meniru perbuatannya itu..." Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "Sanna" ialah melaksanakan mengerjakan bukanberati membuat mengadakan suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau "Man Sanna FilIslam Sunnah Hasanah" yaitu "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik" bukanmembuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang berdasar sabda beliau Kullu bid'ah dhalalah. BID'AH BEBERAPA PERTANYAAN DAN JAWABANNYA 3/4 .